
Zonakepri.com-Kota Tanjungpinang resmi menjadi kota otonom pada 17 Oktober 2001. Perjalanan menuju status ini tidaklah mudah. Dibutuhkan kerja keras, strategi matang, dan kerja sama erat antara pemerintah dan masyarakat. Dua puluh empat tahun kemudian, Tanjungpinang tumbuh sebagai kota mandiri sekaligus pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.
Akar Perjuangan di Era Reformasi.
Era reformasi membuka peluang bagi daerah untuk memperjuangkan pemekaran wilayah. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah diberikan ruang untuk mengusulkan pembentukan kabupaten, kota, maupun provinsi baru.
Kesempatan ini disambut hangat oleh masyarakat Kepulauan Riau, baik yang tinggal di daerah maupun di perantauan. Pada 15 Mei 1999, digelar Musyawarah Besar (Mubes) di Hotel Royal Palace, Tanjungpinang (kini Hotel Comfort). Mubes yang dihadiri tokoh-tokoh dari seluruh kecamatan di Kabupaten Kepulauan Riau menghasilkan rekomendasi penting, di antaranya usulan peningkatan status Batam dan Tanjungpinang menjadi kota otonom, serta pembentukan kabupaten baru seperti Karimun, Pulau Tujuh, Selingsing (Senayang–Lingga–Singkep), dan Bintan.
Perjuangan Menuju Pengesahan
Tidak semua daerah hasil pemekaran langsung disetujui pemerintah pusat. Tanjungpinang sempat mengalami penundaan, namun Wali Kota Administratif saat itu, Dra. Hj. Suryatati A. Manan, tidak menyerah. Melalui Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), ia bersama 24 wali kota administratif lain memperjuangkan peningkatan status secara kolektif.
Upaya ini berbuah hasil. Dalam rapat di Departemen Dalam Negeri (kini Kementerian Dalam Negeri), Tanjungpinang termasuk dalam tahap pertama daerah yang disetujui untuk peningkatan status menjadi kota otonom, bersama 11 kota administratif lainnya.
Lahirnya Kota Otonom
Perjuangan panjang itu mencapai puncaknya ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001 disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 21 Juni 2001. Peresmian dilakukan pada 17 Oktober 2001 oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI, disaksikan Wakil Gubernur Riau Rustam S. Abrus, Bupati Kepulauan Riau H. Huzrin Hood, serta tokoh masyarakat Tanjungpinang.
Beberapa hari kemudian, Dra. Hj. Suryatati A. Manan dilantik sebagai Penjabat Wali Kota Tanjungpinang. Pelantikan itu menjadi penanda dimulainya babak baru pemerintahan di kota ini.
Membangun Pemerintahan Kota
Langkah pertama yang diambil adalah pembentukan perangkat daerah dan DPRD Kota Tanjungpinang periode 2001–2004, dengan jumlah kursi sebanyak 25 orang. Lis Darmansyah, SH, ditunjuk sebagai Ketua DPRD pertama sekaligus menjadi salah satu ketua DPRD termuda di Indonesia pada waktu itu.
Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota periode 2002–2007 dilakukan oleh DPRD. Pasangan Dra. Hj. Suryatati A. Manan dan Drs. H. Wan Izhar Abdullah terpilih dengan 19 suara dan dilantik pada 16 Januari 2003.
Suryatati kembali memimpin pada periode 2008–2013 bersama Drs. H. Edward Mushalli, dengan kemenangan mutlak 84,25 persen suara yang tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).
Perkembangan dan Pembangunan
Sejak menjadi kota otonom, pembangunan Tanjungpinang terus bergerak maju. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meningkat dari sekitar Rp200 miliar pada awal 2000-an menjadi Rp500 miliar pada 2007. Pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau pun resmi pindah dari Batam ke Tanjungpinang pada 2002.
Berbagai infrastruktur dibangun, mulai dari akses jalan baru, pusat perkantoran di Senggarang, hingga berdirinya Universitas Maritim Raja Ali Haji. Wilayah kota yang semula terdiri dari dua kecamatan dan sepuluh kelurahan, kini berkembang menjadi empat kecamatan dengan delapan belas kelurahan.
Perjalanan Kepemimpinan Kota
Seiring waktu, Tanjungpinang mengalami pergantian kepemimpinan yang membawa warna dan arah pembangunan berbeda di tiap masanya.
Masa awal kepemimpinan dipegang oleh Hj. Suryatati A. Manan bersama H. Wan Izhar Abdullah, yang meletakkan fondasi pemerintahan dan semangat kemandirian. Kepemimpinan Suryatati berlanjut bersama Edward Mushalli, menandai fase pembangunan yang kian nyata, dari pembukaan jalan hingga penguatan konsep “kota kembar” dengan Batam.
Setelah satu dekade, tongkat estafet berpindah ke Lis Darmansyah dan Syahrul pada 2013. Kepemimpinan mereka menandai fase konsolidasi pemerintahan yang lebih modern. Penataan birokrasi diperkuat, pelayanan publik ditingkatkan, dan wajah kota perlahan berubah seiring semangat membangun yang terus dijaga.
Lima tahun kemudian, Syahrul terpilih memimpin bersama Rahma dan melanjutkan arah pembangunan. Namun, takdir berkata lain; Syahrul wafat di tengah masa jabatannya. Rahma kemudian meneruskan kepemimpinan bersama Endang Abdullah sebagai wakil wali kota hingga berakhirnya periode 2018–2023.
Dalam masa transisi, roda pemerintahan sempat dijalankan oleh beberapa penjabat wali kota. Raja Ariza lebih dahulu dipercaya mengisi jabatan itu, diikuti Hasan, dan kemudian Andri Rizal.
Ketiganya memastikan roda pemerintahan dan pelayanan publik tetap berjalan di tengah masa pilkada dan pergantian kepemimpinan.
Hingga pada 20 Februari 2025, Lis Darmansyah kembali dipercaya menahkodai Kota Tanjungpinang bersama Raja Ariza sebagai wakilnya. Pelantikan mereka dilakukan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, menjadi simbol keberlanjutan dan harapan baru bagi masyarakat.
Keduanya membawa semangat baru melalui visi “Bima Sakti”, Tanjungpinang Berbenah menuju kota yang Berbudaya, Indah, Melayani, dan Aman untuk mewujudkan masyarakat yang Sejahtera, Agamis, Kreatif, ber-Teknologi, dan ber-Integritas.
Kini, di usia ke-24, Tanjungpinang memang masih tergolong muda dalam perjalanan sejarahnya, namun telah cukup matang dalam pengalaman. Seperti remaja yang tengah menapaki kedewasaan, kota ini terus berbenah, tumbuh, dan meneguhkan cita-citanya untuk menjadi kota yang berbudaya, berdaya saing, dan sejahtera di jantung Kepulauan Riau. (tc/Dinas Kominfo)